Integritas Sejati Tak Butuh Pencitraan
Karya : Fayza Amalia
Di era digital saat ini, membentuk citra diri terasa semakin mudah. Dengan bantuan media sosial, seseorang bisa terlihat karismatik, cerdas, peduli, bahkan seolah-olah “berintegritas.” Tapi, seiring mudahnya membentuk citra, kita juga perlu bertanya: “Apakah semua yang tampak benar-benar mencerminkan kenyataan yang ada?”
Khususnya bagi generasi muda yang mulai banyak dilibatkan dalam ruang publik dan kepemimpinan, penting untuk memahami bahwa integritas tidak sekadar soal apa yang terlihat. Hal ini bukan tentang seberapa banyak viewers, likes, unggahan Instagram, gaya bicara saat tampil, atau seberapa sering muncul di media.
Integritas adalah tentang konsistensi antara nilai yang dipegang dan tindakan nyata. Tentang berani mengambil keputusan yang benar, meski tidak populer dan tidak membawa eksistensi. Tentang tetap berdiri teguh pada prinsip, bahkan ketika tidak ada yang melihat atau mengapresiasi.
Kadang kita sibuk ingin menjadi inspirasi, tapi lupa bahwa inspirasi paling kuat datang dari aksi nyata dan keteladanan. Bukankah satu teladan lebih baik dari seribu nasihat? Orang mungkin bisa lupa apa yang kita katakan, tapi mereka tidak akan lupa bagaimana kita bertindak dan bersikap.
Generasi muda punya potensi besar membawa perubahan. Tapi perubahan yang tahan lama hanya bisa hadir kalau pondasinya adalah nilai yang kuat. Jadi, pertanyaannya bukan “Apa yang ingin kita tampilkan?” tetapi “Apa yang ingin kita wariskan?”
Karena, di tengah dunia yang penuh pencitraan dan haus eksistensi, integritas akan selalu jadi hal yang langka sekaligus paling dirindukan.
Mungkin kita tidak sempurna. Tapi kalau bisa mulai dari pribadi yang bisa dipercaya, itu sudah menjadi langkah besar. Bukan hanya agar terlihat baik, namun supaya kita tidak kehilangan arah saat dunia dipenuhi problematika—dan supaya kita bisa membentuk karakter yang kuat di masa depan.
Jurnalis : Qodri Zaufal Azizy